Jumat, 27 Juni 2014

PURA GIRINATHA PURA “TERTUA” DI JAWA.


Pada 15 Maret 2003, tepatnya Tumpek Wayang diadakan upacara ngenteg linggih dan mlaspas pura Girinatha, yang dianggap pura tertua di Jawa. Upa-cara ini baru diadakan pada tanggal tersebut, karena sebagian besar re-novasi pura telah selesai. Acara ini disaksikan oleh Bupati Kepala Daerah Kabupaten Banyuwangi, Bapak Ir. Haji Syamsul Hadi yang sekaligus menanda-tangani prasasti Pura Girinatha. Acara ini juga diha-diri oleh Ketua II dan Sekum Pari-sada Pusat
Diperkirakan disekitar tahun 1800-an Banyuwangi dikenal seba-gai kota pelabuhan, kota pisang dan kota tempat pengasingan (keselong) orang-orang Bali yang dianggap melanggar aturan adat yang berlaku pada saat pemerintahan raja-raja Bali. Di dekat pusat pemerintahan kabupaten, di Kelurahan Pengan-juran (sekarang), dahulu Desa Dan-dang Wiring, terdapat sebuah per-kampungan yang disebut Kampung Bali (lokasinya di Jalan Ngurah Rai, sekarang). Konon Kampung Bali pada jaman pemerintahan Belanda merupakan suatu kelurahan khusus bagi orang-orang Bali, di kelurahan inilah bermukim orang-orang Bali pada masa itu. Lurah yang terakhir diberi julukan SINGO BALI.

Dapat dipahami bahwa di suatu pemukiman khusus yang pen-duduknya memeluk agama yang sama akan didirikan tempat ibadah sebagai sarana untuk memuja dan mengagungkan kebesaran Tuhan. Begitu pula halnya dengan Kam-pung Bali yang dihuni oleh orang-orang Bali yang beragama Hindu, didirikanlah sebuah pura. Dalam perjalanan sejarahnya, pura di Kam-pung Bali hanya disungsung oleh umat Hindu asal Bali sebanyak 15 KK, sehingga lebih nampak seperti pura keluarga dan pelinggihnya juga seperti pelinggih yang ada dalam pura keluarga (merajan), dan puja-wali jatuh pada setiap Tumpek Wayang. Pada saat penelusuran seja-rah pura, ternyata tidak seorangpun dari sesepuh orang Bali yang ada di Banyuwangi yang mengerti kapan pura ini didirikan, walaupun para pengelingsir itu usianya rata-rata 80 tahun; mereka ini keturunan dari le-luhur yang bermukim di Kampung Bali. Dari data ini dapat diperkira-kan bahwa pura ini paling sedikit telah berumur 150 tahun, suatu usia yang cukup tua.

Sekitar 40-50 tahun lalu, yaitu tahun 1950 – 1960-an, pura ini ke-adaannya sangat sederhana, baik pe-linggih maupun tembok penyeng-kernya. Pelinggihnya beratapkan seng yang ditutup ijuk yang sangat tipis, sedangkan tembok penyeng-kernya terbuat dari tanah dan ditu-tup dengan atap jerami. Baru kemu-dian tahun 1960-an diadakan per-baikan-perbaikan seperlunya dan tahun 1963 memperoleh bantuan dari Bung Karno, presiden pertama RI sebesar Rp. 500,000.-. Bantuan itu dipergunakan untuk memba-ngun Padmasana, tembok penyeng-ker dan Kori Agung. Sampai saat itu, pura ini belum memiliki nama, baru sekitar tahun 1966/1967 al-marhum Ida Pedanda Made Kame-nuh meminta kepada Pemangku untuk bersemadi, memohon kepada Ida Bhatara untuk diberikan nama pura itu. Dari gambaran yang dida-pat dan setelah melalui beberapa ta-hapan pengujian dan lain sebagai-nya; maka muncullah nama GIRINATHA.

Di masa lalu banyak cerita ten-tang keberadaan pura ini, karena pura di Kampung Bali ini diyakini memiliki kekuatan magis yang luar biasa, sehingga tak seorangpun be-rani lewat sembarangan di depan pura tanpa mohon ijin. Penduduk di sekitar pura sering melihat cahaya terang yang muncul dari pura; ko-non itu adalah pancaran cahaya se-bilah keris pusaka. Oleh karena itu tidak sedikit orang datang ke pura untuk mohon obat, bukan saja dari kalangan umat Hindu, malahan le-bih banyak dari umat lain.

I Ketut Sidra (sesepuh umat Hindu Banyuwangi) mengatakan bahwa pura ini merupakan miniatur Pura Agung Blambangan, sedang-kan Pura Agung Blambangan meru-pakan miniatur dari Pura Semeru Agung Mandara Giri di Lumajang. Ia meneruskan, bahwa pada tahun 1963, tiga orang sesepuh umat Hin-du dari Bali matur piuning di Pura Girinatha ini, lalu menuju Semeru; dan inilah awalan dari keberadaan pura di Lumajang itu; disinilah umat Hindu Banyuwangi nunas tirta untuk pendirian pura-pura lainnya.

Pada tahun 1968, umat Hindu Banyuwangi berkumpul dan ber-musyawarah di pura ini, menyatu-kan idep, sabda dan bayu untuk bersama-sama melangkah dalam merencanakan untuk membangun pura di Blambangan, setelah itu ba-rulah mereka membeli tanah di Blambangan. Dan di Pura Luhur Girinata itu pula awal sejarah ber-dirinya Parisada Jawa Timur; meru-pakan tempat musyawarah pertama sampai terbentuknya lembaga ini; sehingga tidaklah aneh apabila pura kecil ini menyimpan sejarah keuma-tan Hindu di Jawa Timur, sebagai cikal bakal pura-pura yang ada se-karang ini.

Umat Hindu yang tahu sejarah pura ini, dalam perjalanan tirta yatra ke pura-pura besar di Jawa Timur, seperti di Blambangan, Semeru, Bromo dan lain-lain, selalu mampir dipura Kampung Bali ini. Untuk wilayah Jawa Timur, secara spiritual dapat digambarkan bahwa Pura Kampung Bali adalah candi bentar-nya, Pura Agung Blambangan ada-lah kori agungnya; sedangkan pe-linggihnya adalah pura-pura lainnya. Jadi Pura Kampung Bali adalah pos terdepan dari pura-pura yang ada di Jawa Timur. Sehingga jelas bah-wa umat Hindu yang ingin mela-kukan tirta yatra dari Bali seharus-nya memulai dari Pura Girinatha ini, sekaligus untuk matur piuning da-lam menempuh perjalanan selanjut-nya. (dewa suratnaya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar