Mengenal Lebih Dekat Satu-satunya Pandita di Blitar, Singgih Pandita Suta Nirmala
Menjadi pemimpin umat Hindu merupakan panggilan hati Singgih Pandita
Suta Nirmala. Lelaki asal Srorok, Garum, ini ingin mengabdikan hidup
demi agamanya. Berikut laporannya.
Yanu Aribowo, Blitar
Kalem dan selalu ramah. Itulah sosok Singgih Pandita Suta Nirmala.
Setelah memimpin sembahyang, pria 73 tahun itu turun dari panggung. Dia
melepas atribut kepanditaannya dan memilih istirahat di bawah tenda.
Sejenak setelah istirahat, pria yang dituakan umat Hindu Blitar itu
mendapat suguhan makan. Wajahnya terlihat letih setelah memimpin melasti
selama empat jam itu. Begitu usai menyantap makanan, banyak umat
mengajaknya berbincang-bincang. Baik seputar melasti maupun tentang
persiapan serangkaian perayaan Hari Raya Nyepi 1933 Saka. Seperti Tawur
Kesanga (4/3), Catur Brata Nyepi (5/3), dan Ngembag Geni (6/3), hingga
puncak perayaan Hari Raya Nyepi pada Dharma Santi yang diselenggarakan
pada Sabtu (9/4) mendatang. Saat terlihat senggang, kepada Radar Blitar,
pensiunan guru Agama Hindu SDN Sidodadi 02, Kecamatan Garum, itu
menuturkan panjang lebar tentang keputusannya menjadi pandita.
Pandita mengatakan bahwa itu bermula setelah pensiun menjadi guru agama
pada 1998 silam. Dia mengabdikan untuk pendidikan selama 20 tahun. Saat
itu tebersit di dalam hatinya ingin mengabdikan sisa hidup untuk agama
dengan menjadi pandita. Bersama Pandita Istri Supartingsih Nirmala, yang
tak lain adalah istrinya, mengikuti pendidikan kepanditaan di Surabaya.
Pendidikan ini ditempuh selama tujuh bulan. Akhirnya pasangan suami
istri (pasutri) itu di-deksa (ditetapkan, Red) menjadi pandita dan
pandita istri pada 2000. Namun, istrinya telah meninggal enam tahun
lalu. “Hingga saat ini, tepatnya saya telah menjadi pandita selama 10
tahun lima bulan,” ujar pria yang bernama asli Suparji Tamsi Atmojo ini.
Di Blitar, pria yang dikaruniai delapan anak dan sepuluh cucu itu
merupakan pandita ketiga di Blitar. Yakni sebelumnya Pandita Winggo
Sumarta dan Pandita Trisila Murti. Pasutri yang menjadi pandita
seangkatannya dulu, hanya ada empat pasangan. Mereka berasal dari
Blitar, Kediri, dan dua pasutri dari Malang. Saat ini di Jawa Timur ada
delapan pasutri pandita dan pandita istri. Selain empat seangkatan
Singgih Pandita Suta Nirmala, juga ada empat pasutri, yakni satu pasutri
di Surabaya dan tiga pasutri di Banyuwangi. Nah, karena sedikitnya
jumlah pandita jika dibandingkan jumlah umatnya, regenerasi pemimpin
Hindu menjadi permasalahan tersendiri. “Kadang ada orang dipandang cocok
mengemban tugas ini, tapi yang bersangkutan mengaku tidak mampu dan
tidak siap,” jelas pria yang pernah menjadi pemangku di Desa Slorok dan
Desa Sidodadi sejak 1966 ini.
Untuk tugasnya, dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh Parisada Hindu
Dharma Indonesia (PHDI) Blitar, pasti dipimpin oleh dirinya, diantaranya
Melasti, Tawur Kesanga, Galungan, Pager Wesi, dan Saraswati. Nah,
ketika dia berhalangan hadir dan tidak bisa memimpin, posisinya akan
digantikan oleh pinandita atau pemangku yang berjumlah 114 orang. “Kalau
untuk kegiatan di tingkat kecamatan, pimpinan bisa diserahkan ke
pinandita langsung atau kepada saya jika memang diminta,” kata suami
almarhum Suparti ini. Selain di Blitar, dirinya juga sering kali diminta
memimpin kegiatan keagamaan keluar kota, seperti Tulungagung, Nganjuk,
Malang, Banyuwangi, Sidoarjo, dan Sorong, Papua. Kegiatan di luar kota
itu adalah Melaspas atau upacara pensucian tempat, bisa tempat untuk
ibadah maupun umat Hindu yang mensucikan rumahnya. Selain itu juga
Melasti sendiri, seperti yang dilakukan di Tulungagung pada tahun lalu.
Menjadi pandita, katanya, sebagai konsekuensi meninggalkan kebutuhan
duniawi. Setiap hari dirinya harus bergelut mempelajari kitab-kitab
agama. Di luar itu, dia hanya beraktivitas seperti biasanya, namun tidak
boleh yang berbau komersil. Biasanya setiap pagi dan sore membersihkan
rumah untuk menjaga kebugaran tubuh. Selain itu, sebagai pandita ada
pantangan yang harus dijalankan. Di antaranya tidak boleh makan enak dan
tidak boleh datang saat kematian warga. Dalam pemahaman agama Hindu,
hal itu merupakan cuntaka atau membawa sial. “Biasanya saya akan datang
sehari setelahnya,” ujar Suparji.
Setelah menjadi pandita, ada sesuatu yang sebenarnya tidak diharapkan
dari orang di sekelilingnya, yakni kadang mereka terlalu sungkan untuk
bergaul dengan dirinya. Padahal sebagai bagian umat Hindu Blitar yang
berjumlah 27.589 jiwa, dia ingin umatnya tidak sungkan terhadap dirinya.
Untuk mengatasi hal itu, biasanya dia sering introspeksi apakah ada
yang salah dengan perilakunya sehari-hari. “Namun lama-lama juga banyak
yang mulai akrab kembali,” tukasnya sambil tersenyum.
Terbaik
BalasHapus