Jumat, 27 Juni 2014

PURA GIRINATHA PURA “TERTUA” DI JAWA.


Pada 15 Maret 2003, tepatnya Tumpek Wayang diadakan upacara ngenteg linggih dan mlaspas pura Girinatha, yang dianggap pura tertua di Jawa. Upa-cara ini baru diadakan pada tanggal tersebut, karena sebagian besar re-novasi pura telah selesai. Acara ini disaksikan oleh Bupati Kepala Daerah Kabupaten Banyuwangi, Bapak Ir. Haji Syamsul Hadi yang sekaligus menanda-tangani prasasti Pura Girinatha. Acara ini juga diha-diri oleh Ketua II dan Sekum Pari-sada Pusat
Diperkirakan disekitar tahun 1800-an Banyuwangi dikenal seba-gai kota pelabuhan, kota pisang dan kota tempat pengasingan (keselong) orang-orang Bali yang dianggap melanggar aturan adat yang berlaku pada saat pemerintahan raja-raja Bali. Di dekat pusat pemerintahan kabupaten, di Kelurahan Pengan-juran (sekarang), dahulu Desa Dan-dang Wiring, terdapat sebuah per-kampungan yang disebut Kampung Bali (lokasinya di Jalan Ngurah Rai, sekarang). Konon Kampung Bali pada jaman pemerintahan Belanda merupakan suatu kelurahan khusus bagi orang-orang Bali, di kelurahan inilah bermukim orang-orang Bali pada masa itu. Lurah yang terakhir diberi julukan SINGO BALI.

Dapat dipahami bahwa di suatu pemukiman khusus yang pen-duduknya memeluk agama yang sama akan didirikan tempat ibadah sebagai sarana untuk memuja dan mengagungkan kebesaran Tuhan. Begitu pula halnya dengan Kam-pung Bali yang dihuni oleh orang-orang Bali yang beragama Hindu, didirikanlah sebuah pura. Dalam perjalanan sejarahnya, pura di Kam-pung Bali hanya disungsung oleh umat Hindu asal Bali sebanyak 15 KK, sehingga lebih nampak seperti pura keluarga dan pelinggihnya juga seperti pelinggih yang ada dalam pura keluarga (merajan), dan puja-wali jatuh pada setiap Tumpek Wayang. Pada saat penelusuran seja-rah pura, ternyata tidak seorangpun dari sesepuh orang Bali yang ada di Banyuwangi yang mengerti kapan pura ini didirikan, walaupun para pengelingsir itu usianya rata-rata 80 tahun; mereka ini keturunan dari le-luhur yang bermukim di Kampung Bali. Dari data ini dapat diperkira-kan bahwa pura ini paling sedikit telah berumur 150 tahun, suatu usia yang cukup tua.

Sekitar 40-50 tahun lalu, yaitu tahun 1950 – 1960-an, pura ini ke-adaannya sangat sederhana, baik pe-linggih maupun tembok penyeng-kernya. Pelinggihnya beratapkan seng yang ditutup ijuk yang sangat tipis, sedangkan tembok penyeng-kernya terbuat dari tanah dan ditu-tup dengan atap jerami. Baru kemu-dian tahun 1960-an diadakan per-baikan-perbaikan seperlunya dan tahun 1963 memperoleh bantuan dari Bung Karno, presiden pertama RI sebesar Rp. 500,000.-. Bantuan itu dipergunakan untuk memba-ngun Padmasana, tembok penyeng-ker dan Kori Agung. Sampai saat itu, pura ini belum memiliki nama, baru sekitar tahun 1966/1967 al-marhum Ida Pedanda Made Kame-nuh meminta kepada Pemangku untuk bersemadi, memohon kepada Ida Bhatara untuk diberikan nama pura itu. Dari gambaran yang dida-pat dan setelah melalui beberapa ta-hapan pengujian dan lain sebagai-nya; maka muncullah nama GIRINATHA.

Di masa lalu banyak cerita ten-tang keberadaan pura ini, karena pura di Kampung Bali ini diyakini memiliki kekuatan magis yang luar biasa, sehingga tak seorangpun be-rani lewat sembarangan di depan pura tanpa mohon ijin. Penduduk di sekitar pura sering melihat cahaya terang yang muncul dari pura; ko-non itu adalah pancaran cahaya se-bilah keris pusaka. Oleh karena itu tidak sedikit orang datang ke pura untuk mohon obat, bukan saja dari kalangan umat Hindu, malahan le-bih banyak dari umat lain.

I Ketut Sidra (sesepuh umat Hindu Banyuwangi) mengatakan bahwa pura ini merupakan miniatur Pura Agung Blambangan, sedang-kan Pura Agung Blambangan meru-pakan miniatur dari Pura Semeru Agung Mandara Giri di Lumajang. Ia meneruskan, bahwa pada tahun 1963, tiga orang sesepuh umat Hin-du dari Bali matur piuning di Pura Girinatha ini, lalu menuju Semeru; dan inilah awalan dari keberadaan pura di Lumajang itu; disinilah umat Hindu Banyuwangi nunas tirta untuk pendirian pura-pura lainnya.

Pada tahun 1968, umat Hindu Banyuwangi berkumpul dan ber-musyawarah di pura ini, menyatu-kan idep, sabda dan bayu untuk bersama-sama melangkah dalam merencanakan untuk membangun pura di Blambangan, setelah itu ba-rulah mereka membeli tanah di Blambangan. Dan di Pura Luhur Girinata itu pula awal sejarah ber-dirinya Parisada Jawa Timur; meru-pakan tempat musyawarah pertama sampai terbentuknya lembaga ini; sehingga tidaklah aneh apabila pura kecil ini menyimpan sejarah keuma-tan Hindu di Jawa Timur, sebagai cikal bakal pura-pura yang ada se-karang ini.

Umat Hindu yang tahu sejarah pura ini, dalam perjalanan tirta yatra ke pura-pura besar di Jawa Timur, seperti di Blambangan, Semeru, Bromo dan lain-lain, selalu mampir dipura Kampung Bali ini. Untuk wilayah Jawa Timur, secara spiritual dapat digambarkan bahwa Pura Kampung Bali adalah candi bentar-nya, Pura Agung Blambangan ada-lah kori agungnya; sedangkan pe-linggihnya adalah pura-pura lainnya. Jadi Pura Kampung Bali adalah pos terdepan dari pura-pura yang ada di Jawa Timur. Sehingga jelas bah-wa umat Hindu yang ingin mela-kukan tirta yatra dari Bali seharus-nya memulai dari Pura Girinatha ini, sekaligus untuk matur piuning da-lam menempuh perjalanan selanjut-nya. (dewa suratnaya)

Pura Agung Blambangan, Terbesar di Banyuwangi (Jawa Timur)


Pura Agung Blambangan, awalnya merupakan situs umpak songo, peninggalan zaman kerajaan blambangan. Pura agung blambangan, terletak di desa tembok rejo kecamatan muncar kabupaten Banyuwangi. Perjalanan ke lokasi ini, menempuh waktu selama kurang lebih satu jam, dari pelabuhan ketapang, Banyuwangi.
suasana peresmian Pura Agung Blambangan, 1980

Pura Agung Blambangan merupakan pura terbesar diantara 92 buah pura lainnya yang ada di banyuwangi dan telah diresmikan hari sabtu, tepatnya pada hari raya Kuningan, 28 juni 1980.

Pelataran Pura Agung Blambangan mempunyai Luas 1.375 m2, dan itu pun tidak cukup menampung Umat Hindu di Banyuwangi ketika melakukan persembahyangan bersama.

Padmasananya berketinggian 10,6 meter yang dikelilingi bangunan tembok sebelah Barat 37,6 meter, Utara 36,5 meter, Timur 37,6 meter dan Selatan 28 meter.

Biaya pembangunan pura Agung Blambangan seluruhnya mencapai Rp 6.135.708,- yang sumber dananya berasal dari Departemen Agama Rp.750.000,-, pemerintah daerah kabupaten Banyuwangi Rp.650.000,- dan sisanya dari swadaya masyarakat disana disamping dari darmawan lainnya.

Mengenal Lebih Dekat Singgih Ida Pandita Suta Nirmala


Mengenal Lebih Dekat Satu-satunya Pandita di Blitar, Singgih Pandita Suta Nirmala


Setiap Hari Baca Kitab, Tak Boleh Makan Enak 
Menjadi pemimpin umat Hindu merupakan panggilan hati Singgih Pandita Suta Nirmala. Lelaki asal Srorok, Garum, ini ingin mengabdikan hidup demi agamanya. Berikut laporannya.
Yanu Aribowo, Blitar
Kalem dan selalu ramah. Itulah sosok Singgih Pandita Suta Nirmala. Setelah memimpin sembahyang, pria 73 tahun itu turun dari panggung. Dia melepas  atribut kepanditaannya dan memilih istirahat di bawah tenda. 
Sejenak setelah istirahat, pria yang dituakan umat Hindu Blitar itu mendapat suguhan makan. Wajahnya terlihat letih setelah memimpin melasti selama empat jam itu. Begitu usai menyantap makanan, banyak umat mengajaknya berbincang-bincang. Baik seputar melasti maupun tentang persiapan serangkaian perayaan Hari Raya Nyepi 1933 Saka. Seperti Tawur Kesanga (4/3), Catur Brata Nyepi (5/3), dan Ngembag Geni (6/3), hingga puncak perayaan Hari Raya Nyepi pada Dharma Santi yang diselenggarakan pada Sabtu (9/4) mendatang. Saat terlihat senggang, kepada Radar Blitar, pensiunan guru Agama Hindu SDN Sidodadi 02, Kecamatan Garum, itu menuturkan panjang lebar tentang keputusannya menjadi pandita.
Pandita mengatakan bahwa itu bermula setelah pensiun menjadi guru agama pada 1998 silam. Dia mengabdikan untuk pendidikan selama 20 tahun. Saat itu tebersit di dalam hatinya ingin mengabdikan sisa hidup untuk agama dengan menjadi pandita. Bersama Pandita Istri Supartingsih Nirmala, yang tak lain adalah istrinya, mengikuti pendidikan kepanditaan di Surabaya. Pendidikan ini ditempuh selama tujuh bulan. Akhirnya pasangan suami istri (pasutri) itu di-deksa (ditetapkan, Red) menjadi pandita dan pandita istri pada 2000. Namun, istrinya telah meninggal enam tahun lalu. “Hingga saat ini, tepatnya saya telah menjadi pandita selama 10 tahun lima bulan,” ujar pria yang bernama asli Suparji Tamsi Atmojo ini.
Di Blitar, pria yang dikaruniai delapan anak dan sepuluh cucu itu merupakan pandita ketiga di Blitar. Yakni sebelumnya Pandita Winggo Sumarta dan Pandita Trisila Murti. Pasutri yang menjadi pandita seangkatannya dulu, hanya ada empat pasangan. Mereka berasal dari Blitar, Kediri, dan dua pasutri dari Malang. Saat ini di Jawa Timur ada delapan pasutri pandita dan pandita istri. Selain empat seangkatan Singgih Pandita Suta Nirmala, juga ada empat pasutri, yakni satu pasutri di Surabaya dan tiga pasutri di Banyuwangi. Nah, karena sedikitnya jumlah pandita jika dibandingkan jumlah umatnya, regenerasi pemimpin Hindu menjadi permasalahan tersendiri. “Kadang ada orang dipandang cocok mengemban tugas ini, tapi yang bersangkutan mengaku tidak mampu dan tidak siap,” jelas pria yang pernah menjadi pemangku di Desa Slorok dan Desa Sidodadi sejak 1966 ini.
Untuk tugasnya, dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Blitar, pasti dipimpin oleh dirinya, diantaranya Melasti, Tawur Kesanga, Galungan, Pager Wesi, dan Saraswati. Nah, ketika dia berhalangan hadir dan tidak bisa memimpin, posisinya akan digantikan oleh pinandita atau pemangku yang berjumlah 114 orang. “Kalau untuk kegiatan di tingkat kecamatan, pimpinan bisa diserahkan ke pinandita langsung atau kepada saya jika memang diminta,” kata suami almarhum Suparti ini. Selain di Blitar, dirinya juga sering kali diminta memimpin kegiatan keagamaan keluar kota, seperti  Tulungagung, Nganjuk, Malang, Banyuwangi, Sidoarjo, dan Sorong, Papua. Kegiatan di luar kota itu adalah Melaspas atau upacara pensucian tempat, bisa tempat untuk ibadah maupun umat Hindu yang mensucikan rumahnya. Selain itu juga Melasti sendiri, seperti yang dilakukan di Tulungagung pada tahun lalu.
Menjadi pandita, katanya, sebagai konsekuensi meninggalkan kebutuhan duniawi. Setiap hari dirinya harus bergelut mempelajari kitab-kitab agama. Di luar itu, dia hanya beraktivitas seperti biasanya, namun tidak boleh yang berbau komersil. Biasanya setiap pagi dan sore  membersihkan rumah untuk menjaga kebugaran tubuh. Selain itu, sebagai pandita ada pantangan yang harus dijalankan. Di antaranya tidak boleh makan enak dan tidak boleh datang saat kematian warga. Dalam pemahaman agama Hindu, hal itu merupakan cuntaka atau membawa sial. “Biasanya saya akan datang sehari setelahnya,” ujar Suparji.
Setelah menjadi pandita, ada sesuatu yang sebenarnya tidak diharapkan dari orang di sekelilingnya, yakni kadang mereka terlalu sungkan untuk bergaul dengan dirinya. Padahal sebagai bagian umat Hindu Blitar yang berjumlah 27.589 jiwa, dia ingin umatnya tidak sungkan terhadap dirinya. Untuk mengatasi hal itu, biasanya dia sering introspeksi apakah ada yang salah dengan perilakunya sehari-hari. “Namun lama-lama juga banyak yang mulai akrab kembali,” tukasnya sambil tersenyum.

Komunitas Hindu Jawa Sidoarjo


Lima tahun lalu kawasan Desa Balonggarut, Kecamatan Krembung, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, dipenuhi kebun tebu. Di tengah perkebunan tebu itu terdapat Pura Margo Wening. Tempat ibadah umat Hindu ini diresmikan Bupati Sidoarjo Win Hendrarso pada 21 Agustus 2014. Kini, kawasan pura dan sekitarnya sudah jadi perkampungan. Tak ada lagi kebun tebu yang terlihat.

Adapun pura lama yang berdiri sejak 1971, tak jauh dari Pura Margo Wening, kini nyelempit di antara rumah-rumah penduduk. Namun, Pura Margo Wening selalu ramai dengan kegiatan ibadah umat Hindu di Sidoarjo, khususnya bagian barat dan selatan, setidaknya dua kali sebulan. Yakni, saat bulan mati dan bulan purnama.

"Sebagian besar kegiatan rohani umat Hindu di Sidoarjo memang dipusatkan di Pura Margo Wening, Krembung. Sebagian umat Hindu memanfaatkan Pura Jala Siddhi Amertha di Juanda," kata I Nyoman Anom Mediana, ketua Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Sidoarjo.

Sejak puluhan tahun silam sudah ada cikal bakal pura di sana. Ini tak lepas dari keberadaan komunitas umat Hindu asli Jawa yang secara turun-temurun berdiam di Krembung. Dalam perkembangannya, populasi umat Hindu Jawa itu terus merosot. Saat ini tinggal sekitar 20 hingga 30 keluarga saja.

Umat Hindu asli Krembung ini tempo doeloe biasa mengadakan ritual keagamaan layaknya umat Hindu Bali. Hanya saja, ritual Hindu ala Krembung ini lebih tradisional layaknya aliran kebatinan atau Kejawen. Pada 1957, salah seorang umat Hindu setempat, Pak Untung, menghibahkan lahan di depan rumahnya untuk dijadikan pura. Sejak itulah umat Hindu pelan-pelan membangun pura kecil secara swadaya. Butuh 35 tahun untuk bisa mewujudkan pura nan mungil itu.

Nah, pada 1 Januari 1992, bertepatan dengan tahun baru, Bupati Sidoarjo (waktu itu) Edhi Sunyoto meresmikan Pura Jagat Naya Margo Wening. Sejak itulah komunitas Hindu Krembung menarik perhatian umat Hindu keturunan Bali yang tinggal di wilayah Kabupaten Sidoarjo.

Dipimpin mendiang Ngakan Putu Tagel, ketua PHDI Sidoarjo, umat Hindu Bali akhirnya melebur dengan Hindu Jawa. Saat itu memang hanya ada satu pura di Kabupaten Sidoarjo, yakni di Krembung itu. "Kemudian umat Hindu bersama-sama memperluas pura lama di lahan perkebunan tebu," tutur Nyoman.

Akhirnya, pada 21 Agustus 204, Bupati Sidoarjo (waktu itu) Win Hendrarso meresmikan pura baru yang diberi nama Pura Penataran Agung Margo Wening. Tak ayal, pura pun terus berkembang. Selain sembahyang rutin, PHDI Sidoarjo juga mengadakan pelajaran agama Hindu setiap Minggu. Kelas khusus ini diikuti para pelajar beragama Hindu mulai dari tingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah atas.

"Sebab, di Kabupaten Sidoarjo ini hampir tidak ada guru agama Hindu. Makanya, pelajaran agama Hindu harus diadakan di luar sekolah," kata Nyoman Anom Mediana.

Setelah melebur dengan umat Hindu asal Bali, otomatis komunitas Hindu Jawa asli Krembung menjadi minoritas. Meski begitu, umat Hindu Krembung tetap mendapat peranan yang besar di pura. Jero Pemangku Senadi, misalnya, menjadi pinandhita di pura tersebut. Ada juga Pemangku Rusdianto yang tengah menimba pendidikan tinggi agama Hindu di Bali. Rusdianto ini tak lain keturunan langsung Pak Untung, perintis berdirinya pura di Krembung.

"Sekarang ini tidak ada dikotomi Hindu Jawa dan Hindu Bali. Semua umat Hindu, apa pun sukunya, silakan bersembahyang di sini," kata Pemangku Senadi. (rek)

Kamis, 26 Juni 2014

P
                                                           Pura Lereng Gunung Lawu



Umat Hindu di Lereng Lawu dan Sekitarnya
Akankah Hindu akan berkibar kembali di Bumi Nusantara ? Jawaban atas pertanyaan tersebut sering dikaitkan dengan ramalan, seperti : Ramalan Joyoboyo atau Sumpah Sabda Palon dan Naya Genggong, dimana ketika Brawijaya VII (Majapahit terakhir) dan berakhirnya Dinasti Raja-Raja Hindu diramalkan Hindu akan kembali berkibar di Bumi Nusantara. Apakah sekarang ini saatnya ? persepsi tentang hal itu akan berbeda-beda, tetapi kita tidak perlu berdebat tentang hal yang merupakan kekuasaan Hyang Widhi tetapi mari kita lihat bersama fenomena yang ada sekarang ini dimasyarakat. Hindu di Indonesia yang sekarang bukan lagi dominasi penduduk Bali sudah bisa dilihat dengan jelas, dimana-mana di Indonesia kita sudah bisa melihat tersebarnya umat Hindu ini, tentunya kuantitas bukan menjadi ukuran. Di Jawa khususnya Jawa Tengah umat Hindu asli suku Jawa cukup banyak jumlahnya. Mengutip nasihat orang tua tentang pengertian ”Jawa ” yang dikaitkan dengan ”Bali Jowone” bisa dijadikan rujukan, bahwa Jawa yang berasal dari Arjawan (jujur) menjadi idaman kita semua sehingga harapan ”Bali Jowone (Kembalinya sifat Jujur) bermakna luas menjadi kembalinya ajaran leluhur ini di bumi Nusantara. Ajaran leluhur dimaksud tentunya Ajaran Hindu. Secara fisik sekarang sudah bisa kita lihat dengan banyak berdiri Pura dimana-mana diluar Bali.
Dilereng Gunung Lawu, yang merupakan wilayah Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah banyak bertempat tinggal umat Hindu asli suku Jawa, juga disekitar Karanganyar yang merupakan ex Kresidenan Surakarta (Solo, Karanganyar,Sukoharjo, Sragen, Wonogiri, dan Klaten). Di Karanganyar ada belasan Pura seperti : Kec.Mojogedang ada Pura Amertha Shanti dan Pura Sedaleman, di Kec.Ngargoyoso ada Pura Sumber Sari, Pura Jonggol Shanti Loka, Pura Tunggal Ika, Pura Argha Bhadra Dharma, dan Pura Luda Bhuwana. Di Kec. Jenawi ada Pura Lingga Bhuwana dan beberapa Pura lainnya. Di Kec.Karangpandan ada Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan dan Parhyangan Sapta Pandita. Pura di Karanganyar ini dibangun setelah mulai bangkitnya umat Hindu ini, jadi bukan peninggalan sejarah seperti : Candi Ceto dan Candi Sukuh. Di Kabupaten Sragen yang sering dilalui kendaraan dari Surabaya (untuk arah dari timur yang merupakan jalur selatan), juga banyak dijumpai Pura. Di Kec.Masaran ada Pura Jagadpati dan Pura Mojo Agung. Di Kec.Sumberlawang ada Pura Jowongso, Pura Bhuana Loka, Pura Tirta Dharma, dan Pura Jati. Di kec.Miri ada Pura Desa Miri, dan Kec.Sukowati ada Pura Agung Bhuwana. Pura di Karanganyar dan Sragen ini keberadaannya di Desa yang penduduknya umat Hindu dari suku Jawa, Pura serupa ada di Sukoharjo, Klaten, juga Boyolali (Ngenden dan lain-lain). Yang berbeda adalah Pura dilingkungan Surakarta (Solo). Karena Surakarta termasuk kota, maka Pura ini banyak di Ampu (Pengempon) oleh umat Hindu asal Bali yang menetap di Surakarta berbaur dengan umat Hindu Suku Jawa. Pura tersebut adalah : Pura Bhuwana Agung Saraswati di lingkungan Kampus Universitas Sebelas Maret (UNS) , Jebres Surakarta, Pura Indraprasta – Mutihan Surakarta, Pura Bhirawa Dharma di Komplek Koppasus Karang Menjangan, Kartasura, dan Pura Mandira Seta disebelah Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Pura di wilayah Karanganyar tempatnya di desa-desa di kaki Gunung Lawu sehingga suasana Pura ini sangat sejuk dan nyaman bagi umat yang berkunjung. Umat Hindu diwilayah ini sebelumnya jumlahnya lebih banyak dari sekarang namun karena situasi tertentu, seperti : kesulitan Pengurusan KTP, Akte Perkawinan, dan juga kurang dukungan maka lama kelamaan jumlahnya semakin menipis, syukur sekarang sudah terbentuk PHDI juga Peradah sehingga kepercayaan diri mereka semakin baik. Secara umum Pura disini ber-ornamen Bali dan Pelinggihnya biasanya berupa Padmasana, karena memang tidak bisa dipungkiri, bahwa keberadaan orang Bali kedaerah ini banyak mendorong perkembangan Hindu di wilayah ini. Disamping itu sebagai kebutuhan awal, maka sarana sembahyang berupa Pura menjadi hal yang pokok disamping peningkatan Srada. Secara tidak sadar kedatangan orang Bali yang berbaur dengan penduduk setempat, apakah sebagai Guru, Polisi, atau Pegawai seperti sudah ditakdirkan menjadi bagian dari proses bangkitnya Hindu ini. Namun tidak bisa dilepaskan juga adalah keterlibatan tokoh-tokoh umat Jawa sendiri, seperti : Harjanto (Tokoh di Pura Mandira Seta), juga Supanggih, Romo Maming, Sunarto, dan umat Jawa lainnya. Beliau-beliau ini sudah berkiprah ketika Hindu di Jateng ini belum dikenal seperti sekarang. Juga bisa dilihat bagaimana kuatnya srada ke Hinduan sesepuh di Mutihan tetap bertahan di suatu tempat Pemujaan ditengah-tengah umat beragama lainnya. Sekarang dengan kedatangan orang Bali Pura ini dikembangkan dan dikenal dengan Pura Indraprasta. Romo Maming juga sangat besar jasanya, dimana dengan tangan sendiri beliau membangun tempat pemujaan sehingga sering berminggu-minggu berada disuatu tempat. Bangunan yang dihasilkan sudah tentu bukan Padmasana atau Meru, tetapi apakah salah ? rasanya karena didasari ketulusan hati walaupun itu berupa seonggok batu yang disakralisasi (Pratista) tetap merupakan sarana yang baik untuk menghubungkan diri kepada sang pencipta.
Bagaimana dengan Candi di Karanganyar yang merupakan peninggalan sejarah ?. Candi Ceto dan Candi Sukuh walaupun Dikelola Dinas Purbakala tetap bisa menjadi tempat Pemujaan umat Hindu. Seperti misalnya Candi Ceto, Candi ini sering dijadikan acara umat Hindu dengan tradisi Jawa berupa Mondosio (Medangsia). Candi Ceto dan Candi Sukuh juga sering dikunjungi umat Hindu dari Bali. Yang agak lain adalah keberadaan Patung Dewi Saraswati hasil kerjasama Pemda Karanganyar dengan Pemda Gianyar Bali. Nuansa Pariwisatanya sangat kental karena Publikasi gencarnya dari Dinas Pariwisata Karanganyar. Patung ini berada diatas sebelah kanan Candi Ceto. Yang menjadi pertanyaan adalah Meru Tumpang Tiga (Susun Tiga) yang tepat berada disebelah Patung tersebut yang merupakan peninggalan asli tidak ikut dipublikasikan atau kenapa bukan peninggalan asli yang dikembangkan. Di Kec.Karangpandan ada Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan dan Parhyangan Sapta Pandita. Tempat ini hakekatnya memang Pura Kawitan karena terdapat Petilasan Trah Pasek juga Pemujaan leluhur Pasek (Sapta Pandita) tetapi tempat ini juga adalah Pura umum, sehingga umat Hindu suku Jawa juga umat Hindu asal Bali yang bersedia, bahkan umat non Hindu banyak yang datang bersembahyang ke Petilasan ini. Tempat ini juga sering dipakai untuk event-event seperti : Pemilihan Pengurus PHDI Karanganyar, Peradah Karanganyar, dan Tirta Yatra Mahasiswa Hindu Jogja sekitarnya dari berbagai Soroh (clan).
Bagaimana dengan Kabupaten Sragen ?. Umat Hindu asal suku Jawa cukup banyak disini. Yang menjadi sentranya adalah Pura Jagadpati Masaran. Tokoh disini adalah Ketut Ardana , seorang Polisi yang mertuanya tokoh Hindu asal suku Jawa disana. Semangat juang umat Hindu disini pantas dijadikan contoh. Dengan kepiawaian dan keberanian Ketut Ardana juga perjuangan gigih tokoh dan umat lainnya dari suku Jawa, telah menggugah umat Hindu lainnya untuk terlibat, melalui sumbangan dana atau bantuan lainnya. Sekarang sudah berdiri Pura yang cukup megah untuk ukuran Pura di pedesaan, walau belum sesuai harapan karena saat ini masih sedang membangun sarana fisik lainnya dan perlu dukungan para dermawan. Event-event penting juga sering dilakukan di Pura ini seperti : Lokasaba Peradah, bahkan saat Ngenteg Linggih Pura Jagadpati, sempat mengundang PHDI Pusat : Ida Pedanda Sebali Tianyar Arimbawa dan Adi Suripto. Kedepan Pura Jadadpati bisa menjadi motor pengembangan umat Hindu di Sragen dan sekitarnya. Yang perlu mendapat perhatian adalah Pura di Kec. Sumberlawang, seperti Pura Jowongso. Pura ini sudah semakin sepi umat kalau tidak mau dikatakan ditinggalkan umat, karena banyak umatnya yang sudah beralih dari Agama Hindu, sehingga sangat diperlukan keterlibatan umat Hindu yang peduli atau Lembaganya. Umat Hindu di wilayah ini juga di Karanganyar dan sekitarnya memang membutuhkan tempat sembahyang (Pura) tetapi disamping itu mereka juga perlu didorong peningkatan Srada, sehingga umat Hindu secara pribadi atau lembaga digugah untuk mau terjun ke kantong-kantong Hindu ini. Bagi yang punya dana sumbangkan untuk pembangunan fisik, bagi yang punya buku-buku Hindu salurkanlah, bagi yang punya kemampuan pengetahuan Hindu lakukan Jnana Punia.
Pura di wilayah Surakarta adalah Pura masa depan, kenapa demikian ? Pura disini yang sering menjadi tempat persembahyangan kebanyakan umat Hindu dari Bali, jumlahnya cukup banyak dibandingkan dengan jumlah umatnya. Pura tersebut adalah Pura Bhuana Agung Saraswati, Pura Indraprasta dan Pura Bhirawa Dharma. Pura ini di ampu (di-empon) oleh tiga Banjar , yaitu Solo Timur, Solo Tengah, dan Solo Barat, jumlah umatnya hanya sekitar 75 KK, sangat jauh bedanya dengan Pura Tirta Bhuana di Bekasi misalnya yang di-ampu oleh belasan Tempek. Umat di Surakarta harus pandai-pandai mengatur diri sehingga sepertinya umat terpecah padahal tidak, itu hanya agar masing-masing Pura yang ada tetap hidup dalam artian ada umat bersembahyang. Mungkin beberapa generasi lagi baru bisa sepadan antara jumlah umat dengan Pura yang ada. Yang lain adalah Pura Mandira Seta disebelah Kraton Kasunanan Surakarta. Keberadaan Pura ini adalah berkat perjuangan Harjanto almarhum. Tempat ini lebih banyak dijadikan tempat berlatih Yoga (Raja Yoga) disamping untuk bersembahyang, sekarang ini sudah ada tempat berlatih lain didaerah Bekonang Sukoharjo yang banyak diikuti umat dari Manca Negara.